Tausiah Teh Nini "Lima Kiat Datangkan Jodoh"

Pacaran..!! Membuang Masa Menuai Dosa

Oleh Ary Nur Azizah

Sepucuk email yang datang dari adik perempuan membuat saya terus menerus tersenyum. Malah bahkan tertawa ketika sampai pada cerita tentang para keponakan. Alhamdulillah. Satu kekhawatiran di hati saya menguap tiba-tiba, saat membaca bait demi bait kisahnya. Bahwa ia demikian bahagia bersama keluarga kecil yang mereka bina sejak empat tahun lalu itu. Bahwa ia mendapatkan suami yang sangat mengerti dirinya. Subhannallah, Allahu Akbar!

Lantas, siapa bilang untuk mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahan seperti yang kini ia raih, harus melewati tahap berpacaran terlebih dulu? Siapa yang begitu yakin, bahwa memilih pasangan hidup harus melalui waktu panjang untuk saling menjajagi ?

Jika kita termasuk didalamnya, saya pikir, inilah saatnya bagi kita untuk mulai mengubah paradigma tersebut. Karena ternyata itu semua tidaklah benar! Tak perlu membuang waktu percuma hanya demi mengukir dosa sepanjang hari bersama seseorang yang jelas-jelas bukan muhrim kita. Jika sudah siap lahir batin, lebih baik, bersegera menikah! Sebab Allah telah menjanjikan hidup kita menjadi penuh berkah karenanya.

“Di antara tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah adalah Dia menciptakan dari jenismu pasangan-pasangan agar kamu (masing-masing) memperoleh ketenteraman dari (pasangan)-nya, dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah.Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (QS Ar Rum:21)”

Terus terang, kami sekeluarga sempat meragukan kebahagiaannya. Terlebih keluarga besar kami. Mereka bahkan tak ragu untuk menanyakan ulang keseriusan adik tentang rencana pernikahannya yang boleh dibilang dadakan.
Namun ia benar-benar yakin dengan keputusannya untuk mengakhiri masa lajang bersama seorang pria, hasil ‘pencarian’ sang murobbi. Sedangkan kami sungguh khawatir. Ia masih sangat belia kala itu. Bangku kuliah pun baru ditinggalkannya beberapa bulan berselang. Dan kekhawatiran kami semakin menjadi manakala kami tak sedikit pun mengenal calon suaminya.

Maka, pertemuan dengan orang tua pun diatur sedemikian rupa. Hampir setiap Ahad, selama lebih kurang dua bulan, si ikhwan datang untuk berdiskusi dengan Bapak, sebagai upaya saling mengenal lebih dekat. Sedangkan adik saya, tak pernah sekali pun di rumah saat masa diskusi itu berlangsung. Saya semakin heran. Dalam benak saya timbul pertanyaan besar, apakah ia tidak ingin mengenal lebih dekat calon suaminya? Tak maukah ia tahu lebih banyak, dan berbincang lebih akrab dengan seseorang yang akan menjadi teman hidupnya? Jika tidak dimulai sejak masa sebelum menikah, apakah mungkin mereka akan menjadi akrab sesudahnya, setelah pernikahan itu benar-benar terjadi?Wah, pertanyaan di otak saya semakin banyak. Sayang, tak satu pun terjawab olehnya. Adik saya selalu menghindar jika saya utarakan teka-teki di benak saya.

Kami pun akhirnya nurut. Dengan bekal husnudzan dan beribu doa, tanpa menunggu terlalu lama, terselenggarakanlah pernikahan sederhana itu.
Waktu terus berputar. Kehidupan baru yang dijalaninya tidaklah mudah. Beberapa kali cobaan menghampiri mereka. Namun, ternyata sakinah itu tumbuh demikian cepat di antara mereka. Pun iman membaja di dada, membuat mereka mampu menyelesaikan semua persoalan dengan baik. Alhamdulillah. Dan kini, adalah waktu di mana kehidupan mereka berada pada titik yang teramat baik. Perjuangan, keikhlasan dan kesabaran telah dibalas oleh Allah dengan limpahan beribu rahmat. Kemurahan rizki pun mereka dapat. Subhannallah!

Belakangan saya baru tahu, bahwa mereka juga mengalami masa penjajagan, pengenalan, tetapi sesuai dengan syariat agama kita. Tanpa pertemuan intens, tanpa berdua-duaan berteman setan.

Maka, masih adakah yang ragu untuk melangkah ke jenjang pernikahan tanpa melewati masa-masa perzinahan itu? Tidak inginkah kita memasuki sebuah babak suci dalam hidup, tanpa mengotorinya terlebih dahulu? Tidak maukah kita membuang masa menuai dosa, dan berharap yang lebih berkah dari Allah?
Astaghfirullahal adziim…
Wallahua’lam bishshowwab
Antariksa0102@yahoo.com

Gagal lagi ? Cari lagi...!!!

oleh Yudimuslim

Patah satu tumbuh seribu, mungkin ini adalah pepatah yang sudah sangat akrab ditelinga kita. Dan sudah sangat sering kita dengan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi sayangnya tidak banyak dari kita yang dapat merealisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Terutama dalam perihal mencari jodoh. Dipostingan saya yang lalu, saya sudah membahas masalah mengejar atau menjemput jodoh. Lantas timbul pertanyaan bagaimana jika gagal?

Banyak diantara kita yang selalu larut dalam kegagalan dan kesedihan yang berkepanjangan. Padahal, diluar sana masih banyak wanita dan pria lain yang mungkin adalah jodoh kita. Mengana kita harus berdiam diri dan menangis tersedu-sedu? Apa karena kita patah hati? Jika benar, itu berarti salah kita sendiri siapa suruh menempatkan cinta ditempat yang salah.

Tidak ada alasan bagi kita untuk berdiam diri apalagi mundur dalam mencari jodoh. Karena waktu dan umur akan terus bertambah bukan berkurang. Pahami hal itu! Jika umur terus bertambah tua dan sudah tidak ”laku” lagi maka ini semua adalah salah kita sendiri. Karena kita hanya duduk dan termenung dalam khayalan serta menangisi kekasih yang bukan jodoh kita.

Kegagalan demi kegagalan itu adalah sebuah proses untuk mencapai kesuksesan. Tidak ada orang yang sukses tanpa kegagalan. Nabi saja pernah gagal dalam dakwah di Mekkah, tapi bukan lantar dengan serta merta harus mundurkan? Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa orang yang sudah mendapatkan jodohnya—bukan pacar—itu tidak mungkin tidak pernah gagal dalam masa pengharapan dan pencariannya.

Tidak ada yang perlu ditangisi! Tidak ada yang perlu dipusingkan dan disesali!
Tapi berusahalah terus tanpa menyerah dan tanpa putus asa.
Tangis dan air mata itu tidak akan mendatangkan jodoh melainkan hanya menghabiskan energi yang ada. Yang seharusnya energi itu kita gunakan untuk ikhtiar dan berdoa, sembari mengoreksi diri sendiri. Siapa tahu kegagalan itu datang dari diri kita sendiri. Mungkin saja karena target yang muluk-muluk tapi tidak sesuai dengan kapasitas dan kualiti yang ada.
Bukankah Allah telah menakdirkan bahwa laki-laki baik-baik adalah untuk wanita baik-baik dan begitupun sebaliknya.

Jangan terlalu banyak berkhayal jika ingin yang terbaik tapi usaha belum memadai. Kenali pontensi diri, belilah cermin yang besar dan bercerminlah. Tidak usah mengeluh saat energi habis, tapi lakukanlah recharge energi secepatnya. Dan mulailah mencari lagi.

Wallahu`alam.
Wassalamu`alaikum wr wb

Let’s Be Wise People

Oleh Setta

Seorang anak lahir setelah 11 tahun pernikahan mereka—pasangan yang saling mencintai itu. Dan anak itu adalah buah hati mereka. Suatu pagi di rumahnya, saat anak tersebut berumur dua tahun, sang ayah melihat sebuah botol obat yang terbuka. Akan tetapi, pagi itu dia sudah terlambat untuk ke kantor. Maka dia meminta isterinya untuk menutupnya dan menyimpannya di lemari. Isterinya—karena kesibukannya di dapur, sama sekali lupa tentang pesan suaminya tersebut.

Anak itu melihat botol obat yang terbuka itu dan dengan riang memainkannya. Karena tertarik dengan warna obat tersebut lalu si anak menelannya semua. Obat tersebut adalah obat yang keras yang bahkan untuk orang dewasa sekalipun hanya dibolehkan dalam dosis kecil saja sekali minum. Sang isteri segera membawa si anak ke rumah sakit. Tapi si anak tidak tertolong. Sang isteri ngeri membayangkan bagaimana dia harus menghadapi suaminya.
Ketika si suami datang ke rumah sakit dan melihat anaknya yang telah meninggal, dia melihat kepada isterinya dan mengucapkan tiga kata.

Ya, sang suami hanya mengatakan, “AKU BERSAMAMU, SAYANG.”
Reaksi sang suami yang sangat tidak disangka-sangka itu adalah sikap yang proaktif. Si anak sudah meninggal, tidak bisa dihidupkan kembali. Tidak ada gunanya mencari-cari kesalahan pada sang isteri—karena jika seandainya isterinya menyempatkan beberapa detik saja untuk menutup dan menyimpan botol tersebut, maka hal ini tidak akan terjadi.
Tetapi hal itu tidak dilakukannya. Dan memang tidak ada yang perlu disalahkan. Si isteri juga kehilangan anak semata wayangnya. Apa yang si isteri butuhkan saat ini adalah penghiburan dari sang suami—dan itulahyangdiberikan suaminya sekarang. [1]
#
Suatu masa, saya pernah mengalami situasi di mana saya berada pada posisi seperti si isteri dalam kisah di atas.
Sore itu, saya baru menyelesaikan UAS hari terakhir setelah tiga minggu berjuang untuk mendapatkan nilai terbaik. Tetapi, saya sudah pesimis tidak akan bisa memenuhi target yang sudah saya canangkan di awal semester enam bulan sebelumnya. Bahkan ujian terakhir hari itu saya tutup dengan sangat mengecewakan. Saya hanya berhasil menjawab dengan yakin dua soal dari jumlah enam soal yang diujikan.

Ba’da maghrib, dengan perasaan bersalah dan menyesal karena merasa telah menyia-nyiakan amanah kuliah di semester itu, saya memberanikan diri mengabari orangtua via sms. Sungguh saya sudah ketakutan lebih dulu. Takut membayangkan reaksi mereka setelah membaca isi sms yang saya kirimkan—tentang kegagalan saya dalam menempuh UAS. Saya takut mereka akan memarahi saya saat itu juga.
Tak menunggu lama setelah dua sms saya terkirim, sebuah balasan dari ayah saya masuk. Dengan jari gemetar, saya memencet keypad untuk membaca sms itu.
“Alhamdulillah selesai tanpa aral. Yang penting, kami—ayah dan bunda—hargai adalah komitmen, keseriusan, dan progres ikhtiarnya. Out put-nya hanya untuk bahan evaluasi yang bersiklus....”

Adalah benar, sms itu masih berlanjut dengan nasihat-nasihat yang sangat menggugah relung hati saya dan sekaligus semakin memojokkan saya pada rasa bersalah yang semakin berlipat. Tetapi, coba bacalah "awalan" dari sms ayah saya di atas sekali lagi.
Beliau tidak memvonis saya bersalah secara langsung dan vulgar. Namun sebaliknya, pertama-tama beliau justru menenangkan hati saya dengan ucapan hamdalah karena saya telah berhasil menyelesaikan UAS tanpa halangan. Disusul kemudian dengan penghargaan atas usaha dan ikhtiar yang sudah saya lakukan—betapapun hasilnya sungguh mengecewakan. Sebelum menutupnya dengan nasihat yang menyejukkan kesedihan saya kala itu.
Ya, kedua orangtua saya tidak menambah beban kesalahan yang sesungguhnya sudah sangat berat saya rasakan saat itu.
Dan sungguh, saya mendapat pelajaran sangat berharga dari mereka, tentang bersikap “bijak” dalam menyikapi suatu permasalahan.
Jika semua orang dapat melihat hidup dengan cara pandang seperti mereka, maka insya Allah akan terdapat jauh lebih sedikit permasalahan di dunia ini.
Wallahu a’lam.

Note: [1] Dikutip dari artikel “Aku Bersamamu, Sayang.” (Anonim)
01 Muharam 1428 H 20 Januari 2007 re-writen 9 Pebruari 2008 01:00 a.m
TV OnLine
This text will be replaced

"Hot News" "Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami perkenankanlah doaku. Ya Tuhan kami berikanlah ampunan kepadaku dan kepada kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)" (QS. Ibrâhîm: 41-42)