Suatu ketika ada seorang anak yang sangat benci kepada ibunya. Begitu besar kebencian yang dirasakannya terhadap ibunya. Bukan karena ibunya orang yang jahat dan tidak perhatian kepadanya. Tapi semata karena Mata sang ibu cacat sebelah. Ketika sekolah dasar sang anak sering di ejek teman-temannya dengan sebutan anak si buta.
Pernah suatu ketika si Ibu memanggil dan tersenyum kepadanya ketika dia sedang berkumpul dengan temannya. Bukan sebuah senyum yang di dapatkan ibu dari sang anak tapi sebuah sumpah serapah yang dilontarkan si anak. Sang anak berkata di depan ibunya bahwa dia benci punya ibu buta, dia ingin ibunya mati saja.
Tahun dan bulan berganti sang anak telah memiliki keluarga sendiri, selama itu dia tidak lagi pernah bertemu ibunya, karena sejak SMA dia sudah tidak mau tinggal dengan ibunya. Suatu kali sang ibu berkunjung ke rumah anaknya yang ia tahu dari para tetangganya. Ketika sang ibu berada di depan pintu sang anak bukan mempersilahkan masuk tapi malah mengusir dengan cacian dan makian. Sang ibu hanya terdiam dan meninggalkan lokasi dengan wajah sedih.
Suatu ketika sang ibu jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Para tetangga mengabarkan pada sang anak. Sang anak tidak merasa sedih sama sekali dengan kepergian ibunya, sampai seorang tetangga memberikan sepucuk surat dari sang ibu kepada anaknya.
Dalam suratnya ibunya hanya mengatakan maaf jika selama ini membuatnya malu. Ibunya juga menceritakan mengapa matanya cacat sebelah. Ketika usia 3 tahun sang anak terjatuh ketika bermain sehingga menyebabkan kebutaan sebelah pada matanya. Karena tidak ingin sang anak buta sebelah maka sang Ibu memberikan matanya untuk anak tercintanya. Dia tidak perduli harus kehilangan sebelah matanya asalkan sang buah hati dapat menjalani kehidupan ini dengan normal.
Di akhir surat sang ibu mengatakan bahwa dia begitu mencintai sang anak dan ingin sekali memeluk erat sang anak sebagaimana dulu ia memeluk erat sang anak yang tergolek lemah ketika terjatuh. Tercekat kerongkongan sang anak ketika membaca, tak kuasa butiran air mengalir dari sudut-sudut matanya, dadanya sesak dipenuhi perasaan haru dan bersalah teramat dalam.
Saudaraku, tidakkah kita sadar bahwa salah satu anugerah terbesar yang Allah berikan adalah ketika kita diberikan orang tua. Mungkin banyak di antara kita yang terkadang malu memiliki orang tua yang penampilan fisiknya tidak lagi menarik. Kita begitu malu ketika harus menggandeng tangan ibu kita saat berada di antara teman-teman kita, kita begitu kesal jika ibu atau ayah kita tidak menuruti keinginan kita. Kita terasa berat untuk mengulang kata yang kadang tidak terdengar jelas oleh orang tua kita karena pendengaran mereka telah berkurang. Kita begitu malu ketika harus menerima kenyataan bahwa orang tua kita bukanlah orang yang sempurna, melainkan hanya seorang yang ringkih tubuhnya, lusuh penampilannya dan tidak memiliki sesuatu yang di banggakan.
Tapi tidakkah kita ingat saudaraku bahwa mereka tak pernah malu menjadi petugas kebersihan yang selalu beregelut dengan sampah hanya karena ingin melihat kita bersekolah sebagaimana anak-anak lainnya. Mereka tidak pernah malu menjadi pedagang kaki lima yang kadang harus berlari tersengal-sengal karena dikejar keamanan kota demi untuk membelikan kita jajanan sebagaimana anak-anak lainnya. Mereka tidak pernah peduli dengan kesehatannya dan terus bekerja membanting tulang demi menafkahi kehidupan kita. Mereka tidak pernah bosan mengulang-ulang kata agar kita pandai bicara. Mereka dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan kita, walaupun kita kerap menanyakan hal yang sama.
Bukankah ringkih tubuh mereka karena begitu kerasnya mereka berjuang agar kita dapat hidup lebih baik dari mereka. Bukankah lusuh penampilan mereka karena mereka terlalu sibuk memikirkan iuran sekolah dan kebutuhan hidup kita lainnya.
Mungkin orang tua kita adalah orang tua yang tidak sempurna, orang tua yang memiliki berbagai macam kekurangan. Mungkin bahasa mereka dalam mengungkapkan cintanyapun tidak sepenuhnya kita pahami. Tapi yakinlah bahwa di antara doa-doa panjangnya, sebagian besar adalah doa untuk kebaikan kita. Disetiap peluh keringatnya semata-mata hanya untuk melihat kita bahagia. Di antara amarah dan larangannya adalah bentuk perwujudan cintanya pada kita.
Saudaraku mumpung waktu itu belum tiba, waktu di mana kita hanya bisa menangis penuh sesal di makamnya karena selama hidupnya kita hanya menyusahkannya dan tidak pernah membuatnya bahagia. Waktu di mana kita tidak bisa memeluk erat tubuh ringkihnya yang penuh kehangatan cinta. Waktu ketika semuanya telah terlambat.
Datanglah saudaraku, datanglah kepadanya saat ini seraya mencium dengan takzim punggung tangannya, datanglah dengan senyum merekah dan tutur kata yang lemah lembut. Datanglah dengan lirih berbisik bahwa kita begitu mencintainya. Karena bukan dunia dan isinya yang membuat mereka bahagia, tapi bakti kitalah yang membuat senyum bahagia mereka merekah.
Allahummagfirli waliwali dayya warhamhuma kama rabbayani shagirah.