Seorang anak lahir setelah 11 tahun pernikahan mereka—pasangan yang saling mencintai itu. Dan anak itu adalah buah hati mereka. Suatu pagi di rumahnya, saat anak tersebut berumur dua tahun, sang ayah melihat sebuah botol obat yang terbuka. Akan tetapi, pagi itu dia sudah terlambat untuk ke kantor. Maka dia meminta isterinya untuk menutupnya dan menyimpannya di lemari. Isterinya—karena kesibukannya di dapur, sama sekali lupa tentang pesan suaminya tersebut.
Anak itu melihat botol obat yang terbuka itu dan dengan riang memainkannya. Karena tertarik dengan warna obat tersebut lalu si anak menelannya semua. Obat tersebut adalah obat yang keras yang bahkan untuk orang dewasa sekalipun hanya dibolehkan dalam dosis kecil saja sekali minum. Sang isteri segera membawa si anak ke rumah sakit. Tapi si anak tidak tertolong. Sang isteri ngeri membayangkan bagaimana dia harus menghadapi suaminya.
Ketika si suami datang ke rumah sakit dan melihat anaknya yang telah meninggal, dia melihat kepada isterinya dan mengucapkan tiga kata.
Ketika si suami datang ke rumah sakit dan melihat anaknya yang telah meninggal, dia melihat kepada isterinya dan mengucapkan tiga kata.
Ya, sang suami hanya mengatakan, “AKU BERSAMAMU, SAYANG.”
Reaksi sang suami yang sangat tidak disangka-sangka itu adalah sikap yang proaktif. Si anak sudah meninggal, tidak bisa dihidupkan kembali. Tidak ada gunanya mencari-cari kesalahan pada sang isteri—karena jika seandainya isterinya menyempatkan beberapa detik saja untuk menutup dan menyimpan botol tersebut, maka hal ini tidak akan terjadi.
Tetapi hal itu tidak dilakukannya. Dan memang tidak ada yang perlu disalahkan. Si isteri juga kehilangan anak semata wayangnya. Apa yang si isteri butuhkan saat ini adalah penghiburan dari sang suami—dan itulahyangdiberikan suaminya sekarang. [1]
#
Suatu masa, saya pernah mengalami situasi di mana saya berada pada posisi seperti si isteri dalam kisah di atas.
Sore itu, saya baru menyelesaikan UAS hari terakhir setelah tiga minggu berjuang untuk mendapatkan nilai terbaik. Tetapi, saya sudah pesimis tidak akan bisa memenuhi target yang sudah saya canangkan di awal semester enam bulan sebelumnya. Bahkan ujian terakhir hari itu saya tutup dengan sangat mengecewakan. Saya hanya berhasil menjawab dengan yakin dua soal dari jumlah enam soal yang diujikan.
Ba’da maghrib, dengan perasaan bersalah dan menyesal karena merasa telah menyia-nyiakan amanah kuliah di semester itu, saya memberanikan diri mengabari orangtua via sms. Sungguh saya sudah ketakutan lebih dulu. Takut membayangkan reaksi mereka setelah membaca isi sms yang saya kirimkan—tentang kegagalan saya dalam menempuh UAS. Saya takut mereka akan memarahi saya saat itu juga.
Tak menunggu lama setelah dua sms saya terkirim, sebuah balasan dari ayah saya masuk. Dengan jari gemetar, saya memencet keypad untuk membaca sms itu.
“Alhamdulillah selesai tanpa aral. Yang penting, kami—ayah dan bunda—hargai adalah komitmen, keseriusan, dan progres ikhtiarnya. Out put-nya hanya untuk bahan evaluasi yang bersiklus....”
Tak menunggu lama setelah dua sms saya terkirim, sebuah balasan dari ayah saya masuk. Dengan jari gemetar, saya memencet keypad untuk membaca sms itu.
“Alhamdulillah selesai tanpa aral. Yang penting, kami—ayah dan bunda—hargai adalah komitmen, keseriusan, dan progres ikhtiarnya. Out put-nya hanya untuk bahan evaluasi yang bersiklus....”
Adalah benar, sms itu masih berlanjut dengan nasihat-nasihat yang sangat menggugah relung hati saya dan sekaligus semakin memojokkan saya pada rasa bersalah yang semakin berlipat. Tetapi, coba bacalah "awalan" dari sms ayah saya di atas sekali lagi.
Beliau tidak memvonis saya bersalah secara langsung dan vulgar. Namun sebaliknya, pertama-tama beliau justru menenangkan hati saya dengan ucapan hamdalah karena saya telah berhasil menyelesaikan UAS tanpa halangan. Disusul kemudian dengan penghargaan atas usaha dan ikhtiar yang sudah saya lakukan—betapapun hasilnya sungguh mengecewakan. Sebelum menutupnya dengan nasihat yang menyejukkan kesedihan saya kala itu.
Ya, kedua orangtua saya tidak menambah beban kesalahan yang sesungguhnya sudah sangat berat saya rasakan saat itu.
Dan sungguh, saya mendapat pelajaran sangat berharga dari mereka, tentang bersikap “bijak” dalam menyikapi suatu permasalahan.
Jika semua orang dapat melihat hidup dengan cara pandang seperti mereka, maka insya Allah akan terdapat jauh lebih sedikit permasalahan di dunia ini.
Wallahu a’lam.
Note: [1] Dikutip dari artikel “Aku Bersamamu, Sayang.” (Anonim)
01 Muharam 1428 H 20 Januari 2007 re-writen 9 Pebruari 2008 01:00 a.m